Tingkatan lapisan sosial Masyarakat Melayu pada dasarnya sudah ada sebelum masa kolonial walaupun pada masa itu belum begitu kental terlihat dan memasyarakat.
Setelah cukup terbukanya hubungan dengan dunia luar, adanya hubungan perdagangan dengan negara asing, wilayah-wilayah di beberapa Kerajaan Melayu dijadikan kawasan perkebunan asing, akhirnya perubahan yang semakin kompleks terjadi terhadap pelapisan sosial masyarakat Melayu di Sumatra Timur.
Yang paling mendukung terjadinya perubahan ini adalah bertambahnya pembagian wilayah akibat bertambahnya jumlah penduduk yang akhirnya menambah "petugas" yang akan mengurus wilayah-wilayah yang baru tersebut, ditambah lagi adanya campur tangan bangsa asing (misalnya Belanda) untuk ikut menentukan siapa-siapa yang akan ditunjuk sebagai "petugas" tersebut.
Tingkatan sosial masyarakat Melayu pada dasarnya hanya mengenal 2 golongan, yaitu :
1. Kaum Bangsawan
2. Rakyat Kebanyakan (rakyat jelata)
Kaum Bangsawan dibedakan atas beberapa tingkatan, yaitu :
1. martabat (jasa)
2. jarak sosial
3. jarak hubungan kekerabatan dengan sang penguasa (Sultan)
Adapun tingkatan-tingkatan kebangsawanan tersebut yaitu :
1. Tengku
Gelar Tengku digunakan untuk keturunan Sultan dan kerabatnya, juga untuk keturunan atuk-neneknya yang mempunya daerah sendiri pada masa lalu yang dipanggil dengan sebutan Tuanku.
Pemberian gelar Tengku hanya diberikan kepada seseorang yang mana orang tuanya memakai gelar tengku ataupun ayahnya yang memakai gelar tengku. Gelar kebangsawanan ini hanya diteruskan berdasarkan garis keturunan ayah. Artinya, jika ayahnya bukan tengku, tapi ibunya bergelar tengku, maka sang anak tidak berhak memakai gelar tengku.
2. Raja
Adapun gelar kebangsawanan Raja di masyarakat Melayu, terutama Sumatra Timur, tidak sama pengertiannya dengan gelar Raja di daerah lain. Pada masa kolonial Belanda, Raja adalah suatu tingkatan atau kedudukan yang menunjukkan tingkatan paling atas (kepala) yaitu mereka-mereka yang menguasai wilayah hukum yang luas ataupun kecil yang terdiri dari 4-5 rumah tangga.
Namun, pengertian pengertian gelar Raja ini berbeda dengan yang ada di masyarakat Melayu, seperti yang dipaparkan oleh Sultan Deli Tengku Amaluddin dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur pada tahun 1933, yaitu gelar Raja digunakan pada seseorang jika seorang wanita yang memiliki gelar tengku dan memiliki suami atau menikah dengan seorang bangsawan asli, misalnya "raden" dari tanah jawa atau bangsawan asli dari Pagarruyung "sutan" (sumatera barat), maka anak-anaknya berhak memakai gelar "Raja".
3. Wan
Penggunaan gelar Wan pada nama seseorang yaitu apabila seorang wanita yang memiliki gelar Tengku atau Raja menikah dengan orang kebanyakan, maka anak-anaknya memperoleh gelar Wan. Gelar ini akan diteruskan oleh anak laki-laki (garis keturunan diambil dari pihak laki-laki). Sedangkan wanita, disesuaikan dengan siapa kelak ia akan menikah. Jika martabat (derajat sosial) suaminya lebih rendah, maka gelar Wan ini bisa menjadi hilang (tidak bisa dipakai oleh anak-anaknya).
4. Datok / Datuk
Selanjutnya adalah gelar Datok / Datuk. Gelar ini merupakan gelar yang diberikan oleh Sultan karena beberapa hal.
Sebenarnya, Gelar "Datok" ini merupakan sebuah gelar yang diperoleh dari Kesultanan Aceh (bukan murni gelar dalam masyarakat Melayu) yang diberikan pada seseorang yang memiliki wilayah otonomi pemerintahan yang mempunyai batasan antara dua sungai, dan mereka ini juga dinamakan "Datuk Asal".
5. Incek / Encik dan Tuan
Incek / Encik dan Tuan adalah panggilan kehormatan kepada seseorang, laki-laki atau perempuan, dengan maksud untuk memuliakan/menghormatinya. Panggilan ini hanya bersifat sementara dan tidak berkelanjutan.
Inilah Tingkatan-tingkat gelar Kebangsawanan Melayu yang paling utama. Semoga pemahaman kita semakin bertambah dengan mengetahui asal-usul adanya penggunaan gelar yang melekat pada seorang warga Melayu.
Saya sangat berharap sekali jika ada kesalahan ataupun kekurangan dalam pemuatan Stratifikasi Sosial Masyarakat Melayu ini mohon kiranya dikoreksi, bisa melalui email ataupun kolom komentar.
7 komentar:
Dalam adat Alam Minangkabau tidak mengenal tingkatan derajat atau status sosial seperti antara kaum bangsawan dg rakyat jelata. Seperti kata adat "duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Kebukit sama didaki, kelurah sama turuni". Namun perlu digaris bawahi, bahwa setiap gelaran yg terdapat pd adat Alam Minangkabau adalah gelar kebangsawanan seperti Sutan (Sultan), Bagindo (Baginda), Saidi (Syaidina), Marah (Meureh bhs Aceh). Pd dasarnya adat yg diterapkan oleh orang2 Melayu di Indonesia, Malaysia, Brunei, Philipina, Palembang dan Bugis adalah diwarisi dr sistem adat yg di Minangkabau. Dahulunya, di Minangkabau (sewaktu zaman kerajaan Pagaruyung) terdapat dua sistem adat yg berpengaruh yaitu Adat Tumenggung yg dicetuskan oleh Datuk Ketemanggungan dan adat Perpatih oleh Datuk Perpatih nan Sebatang. Konsep dr masing2 adat tersebut salah satunya adlh: adat Tumenggung menganut paham "berjenjang naik bertangga turun" (memiliki sistem alur tingkatan tertentu dr susur jalur kekerabatan sehingga membedakan mana kaum bangsawan dan mana yg bkn bangsawan) adat ini mengikut garis keturunan dr pihak bapak. Sedangkan adat Perpatih menganut paham "duduk sama rendah tegak sama tinggi" (artinya, setiap orang sama tingkatannya dlm hal pengambilan kemufakatan tdk membedakan derajat, hubungan kerabat pangkat/jabatan dan status sosial) adat ini mengikut garis keturunan dari pihak ibu. Nah, oleh karena ada dualisme sistem adat yg berlaku pd masa itu, dan utk menghindari pertumpahan darah maka Datuk Ketemanggungan yg tak lain abang dari Datuk Perpatih nan Sebatang memilih utk meninggalkan kerajaan Pagaruyung dan pergi ke Palembang kemudian mengembangkan pengaruhnya sehingga adat Tumenggung diamalkan oleh orang2 Melayu hingga saat ini. Sedangkan adat Perpatih tetap bertahan di Alam Minangkabau dan Negeri Sembilan Malaysia hingga sekarang. Seperti kata adat Alam Minangkabau berikut ini "beraja ke Pagaruyung, beradat ke Pariangan"
@SYafri ANtoni
YOU KNOW NOTHING BRO
Karna kau orang minangkabau maka kau membela adat istiadatmu, adat minabgkabau justru jauh dari ajaran islam terutama masalah menikah.
betul
Gelar encik / incek masih banyak di pakai oleh sebagian orang melayu. Kakek saya gelar incek bpk saya gelar incek.. saya gelar incek
.. pertanyaan saya.. gelar incek di berikan kepada orang melayu yg memiliki jabatan atau melayu secara keseluruhan...
Blog ini tidak diupdate lagi, silahkan berkunjung ke www.sejarahsumatera.com
Saya juga orang encik. Yg tinggal dijawa. Dan Saya lagi mencari apa itu encik Dan buyut2 Saya dimana Dan dari mana..
Posting Komentar
Silahkan beri komentar disini